Minggu, 31 Oktober 2010

Online Polling Tidak Ilmiah

“Meskipun harus diakui bahwa metode polling online masih jauh dari kategori ilmiah, tapi tidak tertutup kemungkinan bagi penyelenggara polling untuk melakukan pembenahan ke arah yang lebih baik.”

Online polling versi Tempo Interaktif.

Itu kesimpulan Eriyanto tahun 2002. Ia pembagi ilmu polling paling murah hati tapi nama dan nomor teleponnya tidak tercatat dalam handphone kebanyakan wartawan Jakarta. Sebab itu, dia tidak basah kuyup oleh publikasi seperti para pemetik laba dari pasar jajak pendapat, mulai Denny JA, Saiful Mujani sampai M Qodari di Jakarta atau M Asfar di Surabaya.

Eriyanto menuliskan kesimpulan tadi dalam makalah berjudul Polling Online: Prospek Penerapannya di Indonesia. Makalahnya disatukan dengan makalah karangan beberapa orang lain dalam buku Teknologi Informasi dan Pembangunan Demokrasi di Indonesia. Penerbitnya The Habibie Center dan pengongkosnya Hans Seidel Foundation.

Kini, enam tahun kemudian, masihkah online polling juga jauh dari ilmiah? Adakah pembenahan selama enam tahun terakhir itu? Lalu, kapan kira-kira metode itu kelak bisa mencapai derajat atau setidaknya mendekati ilmiah?

Tidak, saya tidak cukup punya ilmu untuk menguji atau meramal perkembangan ilmu ini. Saya justru ingin tahu tentang software apa –berbayar atau gratis– yang paling mutakhir untuk menyelenggarakan jajak pendapat online?

Saya hanya terbiasa memanfaatkan komponen bawaan Joomla yang sekadar bisa mengatur durasi antarklik dari satu Internet Protocol Address. By default, durasinya 86400 detik atau 24 jam. Jadi, ribuan klik dari satu komputer atau line internet akan otomatis dihitung satu klik selama 24 jam. Lain cerita kalau seseorang yang sama berpindah komputer lalu melakukan klik lagi.

Inilah salah satu kelemahan jajak pendapat online yang belum ada penangkalnya, kecuali setiap komputer bisa mengintai penggunanya sebagaimana dikhayalkan George Orwell dalam novel bekennya, 1984. Kalau saja ada software sakti begitu, semahal-mahalnya juga akan ada yang beli karena lebih murah dibanding pakai metode konvensional.

Kelemahan lain jajak pendapat online sudah jamak diketahui, yakni soal representasi alias keterwakilan. Kalau survei AC Nielsen sahih, hanya 3 % dari 210 juta penduduk Indonesia yang punya akses internet sampai tahun 1999. Sebanyak 6,3 juta orang itu pun belum tentu semua dari kaum makmur karena sangat boleh jadi kaum papa bisa akses internet cuma-cuma dari kantor, macam saya-lah.

Kendati demikian, jajak pendapat online tetap saja digunakan organisasi-organisasi berita dengan kuisoner bernada serius sampai iseng. Tapi, hanya sedikit organisasi yang berterus terang soal hasil jajak pendapatnya tidak ilmiah, kebanyakan malah berterus gelap.

Jadi, haruskah setiap media yang membuat jajak pendapat online mencantumkan ketidakilmiahan metode dan hasilnya, terutama ketika dimuat di edisi cetak?
  1. Harus
  2. Tidak
Kirimkan jawaban dan argumen anda lewat fasilitas komentar karena blog ini tidak sedia jajak pendapat online yang sudah jelas banyak lubang metodenya.

First published in Telisik Jurnalisme

Jurnalis Marah, Jurnalis Bahagia

Apakah anda termasuk salah satunya? Atau kedua-duanya? Tentu mustahil marah-marah terus atau bahagia terus. Sebab jurnalis juga manusia, ia bisa marah, sedih, suntuk sekaligus bahagia, bungah. Maka, ada-ada saja cara orang mewadahi kecenderungan itu. Yakni, lewat AngryJournalist.com atau HappyJournalist.com.

Angryjournalist.com memberi ruang lapang bagi semua jurnalis yang frustasi untuk marah-marah, berkeluh kesah, mengecam, mengritik, mencaci-maki dan segala bentuk ekspresi kekecewaan terhadap editornya, pemilik modal maupun siapa saja. Syaratnya cuma satu; tidak perlu pakai identitas terang benderang.

Siapapun, ya jurnalis manapun, boleh asal njeplak. Maka, isinya pun macam-macam. Situs begini mungkin justru menyumbang banyak hal buat jurnalisme dibanding situs yang melulu bicara sisi baik jurnalisme.Kiyoshi Martinez, pembikin AngryJournalist.Com juga punya alasan ‘filosofis’.

Martinez semula jurnalis, sekarang Illinois Senate Republican Communications & Public Affairs Staffer at State of Illinois. Salah satu tugasnya memantau liputan media soal lembaga tempat dia cari makan.

AngryJournalist.com is for the underpaid, overworked, frustrated, pissed off and ignored media professionals to publicly and anonymously vent their anger. Share your story. With any luck, you’ll feel better.
Isu upah rendah jurnalis di Amerika Serikat yang tak sebanding dengan beban kerja yang kelewatan juga jadi inspirasi Martinez untuk menampung keluh kesah seputar jurnalisme. Mengutip sebuah penelitian yang linknya sudah mati, Martinez menekankan bahwa “31 persen jurnalis muda mengaku sebetulnya ingin meninggalkan profesi itu”.

Ia memberi gambaran serba buruk soal jurnalisme,  ”The problem is that salaries are so low that it makes it financially stressful to be in journalism.” Martinez tidak suka pasang iklan di blog marah-marah itu. Ia hanya berjualan kaos yang mungkin sebagian pesannya menarik.

Antara lain, Low pay causes writer’s block atau Print is Dead. Harganya 20 dolar AS, jadi tidak direkomendasikan untuk dibeli saat nilai tukar rupiah sekarat begini. Kalau berminat, contek saja pesannya, tuliskan sendiri di kaos oblong Cap Lombok dengan spidol. :))  

Bagaimana dengan HappyJournalist.Com? Ia tentu berkebalikan 180 derajat. Lebih cengengesan dan optimistik. Ada jurnalis yang bungah hanya karena editor barunya cakep. HappyJournalist.Com adalah bikinan Joe Murphy, bekas reporter dan sekarang progammer situs Denver Post. So, why are you angry or happy today?

First published in Telisik Jurnalisme

Knol dan Kegelisahan Media Besar

Coba ketikkan “buttermilk pancakes” di Google. Hasil pencarian teratas niscaya menyuguhkan content dari Knol, layanan baru cuma-cuma dari Google. Inilah problem lama tapi terbaru dari Google sebagai mesin pencari sekaligus penyedia content.

Klik untuk melihat video tutorial memulai KNOL.
 Soal ini sudah didiskusikan Miguel Helft dalam Is Google a Media Company? di New York Times edisi 10 Agustus 2008. Sebelum artikel itu terbit, hasil pencarian teratas untuk “buttermilk pancakes” di Yahoo! masih merujuk ke Knol. Sekarang, tidak ada sama sekali di halaman pertama. New York Times media berpengaruh dan mungkin saja insinyur-insinyur Yahoo! segera membenahi mesin pencarinya.

Nada tulisan Miguel Helft menyoal tentang tidak fair-nya Google sebagai penyedia mesin pencari tapi juga merangkap sebagai penyedia content. Knol sampai sekarang memang masih berstatus Beta sejak digemborkan setahun lalu.

Knol dengan jargon A Unit of Knowledge bolehlah disebut saingan baru Wikipedia. Bedanya, kontributor di Knol boleh menyisipkan iklan dari Google, Google Adsense, di halaman tulisannya. Bedanya lagi, tulisan di Wikipedia bisa diacak-acak oleh nyaris sembarang orang, sedangkan di Knol bisa dibatasi siapa saja yang boleh menambah atau menguranginya.

Pada kolom pencarian di Knol, saya coba ketikkan “indonesia” dan hasilnya baru tujuh item. Semuanya berbahasa Inggris dan tidak ada iklannya dari Google Adsense maupun layanan iklan lainnya. Artinya, kehadiran Knol tidak menjadi ancaman bagi situs berita berbahasa Indonesia. Kalaupun misalnya Knol mendapat perlakuan khusus sehingga tampil di halaman pertama hasil pencarian Google, pencari content berbahasa Indonesia tentu tetap akan melewatinya.

Lain lagi dengan penyedia content berbahasa Inggris, termasuk media-media mainstream dunia, yang gelisah atas kehadiran Knol. Semakin tersisih dari halaman pertama hasil pencarian Google berarti semakin tipis kemungkinan datangnya tetamu situs. Dan, itu berarti kiamat kecil bagi perusahaan media karena semakin tipis kemungkinan tetamu datang, semakin tipis pula kemungkinan orang mau pasang iklan.

Namun, juragan Google sebagaimana diwawancarai Miguel Helft, berdalih, Google tidak punya hak cipta atas isi Knol. Artinya pula, Google bukan penyedia content. Maksudnya, Knol tidak berpotensi mengancam penyedia content seperti media massa.

Knol bukan layanan percuma yang pertama dari Google. Sebelumnya, Google juga sedia jasa cuma-cuma di Blogger dan YouTube, bahkan menyajikan sebagian berita bikinan The Associated Press dalam Google News.

Menyudahi karangannya, Miguel Helft mengutip David B Yoffie, professor dari Harvard Business School.
“If I am a content provider and I depend upon Google as a mechanism to drive traffic to me, should I fear that they may compete with me in the future?” Professor Yoffie asked. “The answer is absolutely, positively yes.”

Pak professor mengingatkan pula konflik serupa tapi tak sama pada kasus Microsoft, satu dasawarsa lalu. Microsoft sebagai pembikin sistem operasi sekaligus aplikasi komputer. Bukan sekali dua Microsoft didenda gara-gara membuat mustahil sebuah aplikasi yang bukan bikinannya untuk digunakan dalam sistem operasi Windows.

Karangan di Helft di New York Times, saya kira, juga mencerminkan kegelisahan media-media mapan yang masih mengandalkan tetamu dari hasil pencarian Google. New York Times, bukan kebetulan, juga punya layanan About.Com yang percaya diri bisa menjadi pedoman, bukan sekadar jawaban perkiraan. Hanya, About.Com bukan pesaing langsung Knol karena jawaban dari About.Com –sebagaimana klaimnya- berasal dari 750 pakar yang dibayar khusus.

First published in Telisik Jurnalisme

Penjara Buat Citizen Journalist

“The politically motivated trial launched against me will, Insha Allah, be the last of its kind. No Malaysian will suffer from this cruel injustice ever again.”

“Peradilan berlatar politis terhadap saya, Insya Allah, akan menjadi peradilan yang paripurna. Tidak akan ada lagi warga Malaysia yang menjadi korban ketidakadilan seperti ini.”

Raja Petra Kamaruddin, blogger Malaysia, menuliskan itu dalam karangan berjudul I Promise to be a good, non-hypocritical Muslim, 8 Agustus 2008. Informasi ini mula-mula saya baca dari blog Wong Chun Wai via InJournalist.Com, kemudian googling sana-sini.

Pada 2001, Raja Petra pernah ditahan polisi Malaysia berdasarkan Internal Security Act (ISA, Akta Keselamatan Dalam Negeri) karena mengelola FreeAnwar.Com, kini FreeAnwar.Net. Raja Petra, saya kira, lebih sebagai aktivis politik baru kemudian citizen journalist.

Tadi siang, pukul 13.10 waktu Malaysia, dia diciduk polisi lagi karena karangan I Promise to be a good, non-hypocritical Muslim dan satu lagi, Not all Arabs are descendants of the Prophet.

Jadi, citizen journalist yang kritis pun menghadapi potensi yang sama dengan jurnalis. Mereka bisa dipenjara. Malaysia memang keterlaluan mengawasi warganya tapi saya kira di negara manapun, citizen journalist bukan makhluk yang bebas dari konsekuensi hukum atas tulisannya di Internet.

Indonesia juga punya banyak citizen journalist tapi tidak terlalu banyak yang galak dengan identitas yang terang. Itu satu soal. Soal lainnya adalah pada hari yang sama aparat Malaysia menciduk Tan Hoon Cheng, wartawan harian Sin Chew Daily.

Bahkan, masih di hari yang sama, aparat Malaysia juga menahan seorang politisi, Teresa Kok. Malaysia adalah negeri yang panik, sebagaimana Indonesia di zaman ada Menteri Penggelapan, pinjam plesetan dari Butet Kertaradjasa.

First published in Telisik Jurnalisme

Bencana di Sidoarjo, Berkah di Mana-mana

Kerajaan bisnis dinasti Bakrie semakin agresif merebut sumber-sumber pembentuk opini sejak anak perusahaannya, PT Lapindo Brantas Inc, terpojok karena lumpur di Sidoarjo.

Mereka tidak cukup puas menanamkan pengaruh lewat strategi public relation yang nyaris mustahil berhasil tanpa sokongan duit melimpah. Sebutlah seluruh media terkemuka di Indonesia, niscaya tidak ada yang steril dari iklan layanan kerajaan bisnis Bakrie.

Sebelum digempur lumpur, bisnis yang dirintis mendiang Achmad Bakrie sejak 1945 itu memang sudah merambah bidang media massa. Achmad Bakrie punya tiga anak; Aburizal, Nirwan dan Indra. Lewat ketiganya, bisnis keluarga semakin berjaya. Abu menakhodai kapal induk PT Bakrie Investindo (BIN), Nirwan mengurus PT Bakrie Capital Indonesia (BCI) dan Indra pegang PT Bakrie & Brothers (BB).

Modal mereka mengalir ke usaha media, antara lain, tabloid olahraga GO, koran dan percetakan Nusra di Denpasar, Sinar Pagi di Jakarta dan Berita Buana di Jakarta. Belakangan, masuk juga ke dunia broadcasting lewat AN-teve.

Kini, kerajaan bisnis mereka di bidang media agaknya juga akan terus merangsek. Bukan hanya bikin media baru seperti portal berita KanalOne di Jakarta yang entah mau ganti nama apa lagi.

Di Surabaya, mereka mendirikan Arek TV dan mengakuisisi Surabaya Post, koran yang dibanggakan alumninya sebagai pertanda “keberhasilan jurnalisme yang bermutu“.

Pertanda kekuasaan Bakrie terlihat dari, antara lain, duduknya Gesang Budiarso sebagai Komisaris Utama
PT Media Delta Espe, penerbit Surabaya Post.

Gesang adalah Komisaris Utama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan tangan kanannya, Andi Darussalam Tabusalla, juga menjadi komisaris di PT Media Delta Espe.

Direktur Utama PT Media Delta Espe adalah Banjar Chaeruddin, bekas Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia. Reputasi Banjar di tahun 1996 cukup mengerikan kalau baca karangan berjudul Kemelut di Harian Bisnis Indonesia dari PIPA, layanan berita bawah tanah semasa Orde Baru yang punya keterkaitan dengan Goenawan Mohamad setelah TEMPO dikubur.

Di bawah orang-orang Bakrie itu, tim redaksi Surabaya Post dipimpin Dhimam Abror Djuraid, bekas pemimpin redaksi Jawa Pos yang kemudian mendirikan menghidupkan Suara Indonesia tapi mati lagi.

Abror masuk Surabaya Post setelah dua tahun dibayar Kelompok Kompas Gramedia untuk jadi Pemimpin Redaksi Harian Surya di Surabaya. Abror dua kali jadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur tapi baru saja gagal jadi Ketua Umum PWI.


First published in Telisik Jurnalisme

Mengapa Gelar Wartawan Dibuang?

Hampir semua media terkemuka, bukan saja di Indonesia tapi juga di luar negeri, tidak mencantumkan gelar akademik wartawan dalam susunan redaksi maupun laporan byline. Mari mencomot contoh dari media luar negeri dulu, mulai The Washington Post, The Christian Science Monitor di Amerika Serikat sampai The Guardian di Inggris. Media dalam negeri juga begitu, taruh contoh Kompas dan Media Indonesia.

Apakah itu berarti wartawan-wartawan mereka tidak pernah “makan bangku kuliah”? Ataukah mereka terlalu rendah hati dan tidak sombong? Ataukah sekadar mewarisi kebiasaan zaman perdjoangan ketika umumnya wartawan memang mustahil kuliah?

Sutomo alias Bung Tomo dari Surabaya, misalnya. Ia bukan hanya pembakar semangat arek-arek Suroboyo demi melawan NICA-Belanda tahun 1945 ketika Sukarno justru memilih jalur diplomasi, pilihan yang mungkin tidak heroik dari kacamata sekarang.

Cak, eh, Bung Tomo juga lama sekali jadi wartawan sejak sebelum Indonesia merdeka. Mula-mula wartawan lepas untuk Harian Suara Umum di Surabaya tahun 1937, kemudian jadi wartawan dan penulis pojok di Ekspress, harian berbahasa Jawa di Surabaya tahun 1938.

Masih di tahun yang sama, dia jadi redaktur Mingguan Pembela Rakyat di Surabaya. Setahun berikutnya sampai 1942, Bung Tomo jadi reporter area Surabaya untuk majalah Pustaka Timur berbasis di Jogjakarta asuhan Anjar Asmara.

Zaman Jepang, ia jadi wakil pemimpin redaksi kantor berita Domei bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya. Puncak karir kewartawanannya jadi Pemimpin Redaksi kantor berita Antara di Surabaya tahun 1945.

Justru lama setelah Indonesia merdeka, Bung Tomo baru merasakan bangku kuliah pada 1959 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Usianya saat itu sudah 39 tahun dan lulus semua ujian mata pelajaran tingkat sarjana sembilan tahun kemudian.

Tentu banyak reporter seperti Bung Tomo sehingga media massa dari zamannya tidak mencantumkan gelar reporternya. Tapi sekarang, konvensi dari zaman perdjoangan itu tetap lestari.

Padahal, semua media rasanya tidak ada lagi yang membuka lowongan dengan syarat lunak; minimal lulus SLTA atau sederajat. Hanya sekali saya melihat pengumuman lowongan selunak itu yang ditempel di kompleks Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta. Nama persis medianya lupa, pokoknya ada kata ‘api’.

Lantas, apa salahnya memajang gelar wartawan? Tidak, tidak ada satu pun maklumat pemerintah yang melarang. Tidak ada sanksi yuridis apapun yang akan dijatuhkan. Mudah-mudahan karena dilandasi cara berpikir seperti itu –dan mungkin alasan kredibilitas- sebuah media bernama Abdi Media di Surabaya ‘berinovasi’ mencantumkan gelar pada nama awak redaksinya.

Tapi bukankah pembaca pun jadi mudah menyimpulkan, awak redaksi yang tanpa gelar berarti memang tidak ‘makan bangku kuliah’? Tak tahulah awak.

Yang jelas di situ bukan hanya gelar awak redaksi yang dicantumkan tapi juga gelar dan pangkat Dewan Pembina/Penasehat. Misalnya, Jenderal Pol Drs Sutanto, Irjen Pol Drs Bambang Hadiyono MM dan Brigjen Pol Drs Edison Siregar SH.

Abdi Media menyebut diri sebagai AMO, kependekan dari Abdimedia.com. Dan, inilah pengumuman mereka: AWAS WARTAWAN AMO GADUNGAN TANYAKAN ID CARD RESMI DARI AMO.

First published in Telisik Jurnalisme

Riset Angpao Online

Aliansi Jurnalis Independen, saya percaya, menguras banyak duit dari lembaga donor –diumumkan terbuka atau tidak– untuk bikin riset soal sikap dan laku jurnalis di Indonesia. Riset itu umumnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku.

Pokok penelitiannya macam-macam tapi ada bab yang selalu tidak ketinggalan; hal-ihwal angpao.
Mulai dari bentuknya, jumlahnya, caranya, hingga dalih pemberiannya. Identitas responden umumnya disamarkan total atau setengah-setengah.

Kalau misalnya hanya untuk menunjukkan betapa akutnya ‘jurnalisme amplop’ di Indonesia, saya kira model riset konvensional begitu –wawancara banyak wartawan ke banyak kota di Indonesia– hanya buang-buang duit. Ada cara lain yang siapapun bisa melakukannya dengan hasil yang bisa jadi jauh lebih menggembirakan. Persisnya menyedihkan. Riset online –mungkin juga riset-risetan– hanya membutuhkan bantuan Google, mesin pencari paling populer saat ini.

Semula, saya iseng-iseng menguji beken mana antara kata “jurnalis” dan “wartawan” di Google. Hasilnya, Google menyajikan 611.000 item untuk kata “jurnalis” dan 27.500.000 untuk kata “wartawan”. Sebab “wartawan” lebih populer, saya berasumsi tentu banyak juga “wartawan” dalam database hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap keuangan pemerintah pusat maupun daerah. Wartawan banyak bersentuhan dengan lembaga pemerintah.

Lantaran fasilitas pencarian di situs BPK tidak berfungsi, kepada Google kita kembali. Menurut daripada Google, situs BPK memuat 18 item untuk jurnalis dan 593 item untuk wartawan. Apa saja isinya? Silakan pilih item mana yang sekiranya berisi laporan hasil audit BPK, bukan kutipan berita dari media massa.

Tidak, saya tidak berminat mengulas satu per satu kasus amplop yang merentang dari Sabang sampai Merauke itu. Silakan coba sendiri.

First published in Telisik Jurnalisme

Jurnalisme Hibrida

Bloggers vs journalists is over.  Begitulah deklarasi Jay Rosen sejak Januari 2005 silam. Rosen adalah professor jurnalisme di New York University sekaligus penulis hal-ihwal cakrawala baru jurnalisme.
“Persoalannya sekarang bukan lagi apakah blog dapat menjadi jurnalisme. Kadang-kadang bisa. Persoalannya sekarang bukan lagi apakah blogger adalah jurnalis. Kadang-kadang begitu.”

Hampir senada dengan itu adalah ujaran Enda Nasution lewat karangan Apakah Blogger = Jurnalis? Enda memutuskan, “Tidak semua blogger adalah jurnalis dan tidak semua jurnalis adalah blogger.” Tapi ujaran Jay Rosen dan Enda Nasution bukan vonis atas perdebatan soal ini.

Bahkan, sampai Desember 2007 lalu, masih ada ada tulisan yang memojokkan blogger (citizen journalist). Bekas koresponden NBC, David Hazinski, lewat tulisannya di The Atlanta Journal-Constitution menggambarkan tren ketergantungan stasiun televisi pada laporan warga, citizen journalism. Misalnya, video kiriman nonprofesional seperti dalam program iReports di CNN. Di Indonesia ada I Witness di Metro TV.

Hazinski juga professor jurnalisme tapi di University of Georgia. Menurut dia, perbedaan antara jurnalis dan warga kebanyakan yang merekam berita di telepon selulernya terletak pada pendidikan, keterampilan dan standar. “Informasi tanpa standar jurnalistik disebut gosip,” simpulnya.

Robert Cox, presiden Media Bloggers Association, mengatakan, blogger cenderung sengaja provokatif dan kadang-kadang hiperbolis. Padahal, setumpuk pasal bisa menjerat mereka, mulai dari soal fitnah, pelanggaran hak cipta hingga privasi.

Di Indonesia, Roy Suryo tentu saja juru bicara paling lantang dari kubu pelawan blogger, meski kemudian mengenalkan pemilahan antara blogger baik dan buruk. Sebaliknya, ada deklarasi bahwa semua orang bisa menjadi jurnalis.

Pengacara Washington, Scott Gant, membeber argumennya lewat buku berjudul; We’re All Journalists Now tahun 2007 lalu. Sub judulnya, The Transformation of the Press and Reshaping of the Law in the Internet Age.

Gagasan dasarnya, kebebasan pers kini bukan cuma monopoli media tradisional tapi juga siapapun yang menggunakan telepon seluler, kamera video dan peranti lunak blogging serta teknologi lain untuk mengabarkan berita dan pendapatnya kepada dunia.

Menurut Ann Cooper, judul yang mungkin lebih akurat untuk buku itu, meski kurang seksi, adalah We Can All Be Journalists, If and When We Choose to Be. Ann Cooper mengajar di Columbia’s Graduate School of Journalism. Ia juga reporter koran, majalah serta National Public Radio sekaligus direktur eksekutif Komite Perlindungan Jurnalis (Committee to Protect Journalists).

Lewat Ann Cooper inilah, snapshot perdebatan dua kubu di atas saya baca. Sebelum sampai pada anjuran, Cooper mengilustrasikan soal tren jurnalis media tradisional yang juga ngeblog (entah berisi opini maupun berita) di Amerika Serikat. Antara lain, para jurnalis koran The New York Times di nytimes.com dan koran The Washington Post di washingtonpost.com.

Di Indonesia, tidak susah mencari contohnya. Tidak semua blog jurnalis media cetak, misalnya, melulu berisi posting ulang berita mereka yang sudah termuat di medianya. Ada banyak juga yang berisi berita sensitif sehingga tak termuat, unprinted stories.

Baiklah, tujuan Ann Cooper menghadirkan perdebatan ini memang bukan untuk melanggengkannya tapi coba mencari jalan tengah. Ia sepakat pada gagasan Jay Rosen dari tahun 2005 silam. Yakni, soal perlunya persetubuhan antara hal-hal yang terbaik dari kedua kubu demi jurnalisme yang lebih bermutu.

Rosen via Cooper menyebut-nyebut istilah hybrid dalam proses itu, saya meminjamnya secara serampangan sebagai hibrida. Maka, seperti jagung hibrida yang besar dan unggul, jurnalisme yang mengawinkan sisi terbaik dari dua kubu itu niscaya bisa menjadi jurnalisme hibrida yang berkualiteit, berkualitas.

“Tapi (jurnalisme) hibrida itu mensyaratkan kolaborasi tulus antara praktisi lama dan baru yang serius tentang upaya memantapkan jurnalisme dan misinya melayani publik,” tulis Ann Cooper.

Menurut dia, (awak) media tradisional mesti menanggalkan beberapa sikap dan asumsi yang tak lagi relevan, sedangkan (awak) media baru perlu menyerap standar jurnalistik yang dapat mendatangkan kredibilitas dan kepercayaan dalam jurnalisme baru ini.

Bagaimana model ideal kerjasama itu? Bagaimana yang sudah terjadi di Amerika Serikat? Adakah ia juga sudah terjadi di Indonesia? Saya akan senang menerima masukan soal ini.


Fist published in Telisik Jurnalisme